Minggu, 15 Mei 2011
evaluasi diri institusi LPMP Bali oleh I Ketut Suarnaya
BAB I
PENDAHULUAN
A. Rasional
Sesuai amanat Undang-Undang Sisdiknas No 20 tahun 2003, yang pelaksanaannya diatur melalui PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas Nomor 63 tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) dan Inpres Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pembangunan Nasional (khususnya tentang akselerasi SPMP), upaya peningkatan mutu pendidikan diharapkan menjadi fokus perhatian berbagai instansi terkait, khususnya sekolah, untuk dapat diimplementasikan secara baik dan benar sesuai dengan konsep dan mekanisme yang telah dirumuskan dalam SPMP. Dalam konsep SPMP, peningkatan mutu pendidikan harus dilaksanakan dengan berbasis data yang telah dianalisis dengan akurat dan benar. Analisis data ini kemudian menghasilkan rekomendasi yang dapat digunakan sebagai base-line data untuk dasar merencanakan kegiatan dan program peningkatan mutu secara proporsional, akurat dan berkelanjutan.
Dalam implementasinya, salah satu kegiatan yang harus dilakukan oleh LPMP sebagai unit pelaksana teknis dalam implementasi sistim penjaminan mutu sekolah adalah Pengolahan Data Quality Assurance yaitu: menyusun laporan hasil analisis agregasi Monitoring Sekolah oleh Pemerintah Daerah (MSPD) dari setiap satuan pendidikan berdasarkan laporan EDS. Kegiatan analisis agregasi MSPD dilakukan untuk mendapatkan data tentang capaian 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan bagi satuan pendidikan yang telah menyusun laporan EDS, sehingga akan didapatkan gambaran tahapan pengembangan setiap indikator pada setiap SNP. Hasil analisis dan agregasi MSPD akan menjadi bahan masukkan dan rekomendasi yang akurat bagi pemerintah kota/kabupaten setempat untuk dapat menjadi dasar bagi perencanaan program peningkatan mutu pendidikan di tingkat kota/kabupaten untuk tahun berikutnya.
Sebagai instrumen yang sangat penting dalam implementasi program peningkatan mutu pendidikan, hasil analisis dan agregasi MSPD menjadi suatu kewajiban bagi pemerintah kabupaten/kota untuk dapat dipahami dan dilaksanakan secara terus menerus dan berkelanjutan, sehingga menjadi suatu budaya mutu, di tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun di tingkat pusat.
B. Dasar
Dasar pelaksanaan Pengolahan Data Quality Assurance (Pengolahan Data EDS dan MSPD) , adalah:
1. Undang-undang Republik Indonesia No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. Undang-undang Republik Indonesia No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen
3. Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
4. Instruksi Presiden No. 1/2010 tentang Akselerasi Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 63/2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
6. Dipa LPMP Bali Tahun 2010
7. Surat Keputusan Kepala LPMP Bali No.1179/F33/KP/2010 tentang Pengolahan Data Quality Assurance
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Secara umum, tujuan Pengolahan Data Quality Assurance ini adalah untuk menguatkan implementasi Permendiknas No. 63 Tahun 2009, Inpres No. 1 Tahun 2010, dan konsep dasar Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP), serta konsep dasar Evaluasi Diri Sekolah/Madrasah (EDS/M) dan Monitoring Sekolah oleh Pemerintah Daerah (MSPD) yang telah dilaksanakan pada tahun 2010
2. Tujuan Khusus
Setelah melaksanakan kegiatan analisis data quality assurance ini, secara khusus peserta diharapkan dapat lebih mampu
a. memahami Permendiknas Nomor 63 tahun 2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP), dan Inpres Nomor 1 Tahun 2010, Tentang Percepatan Pembangunan Nasional (dan konsep dasar SPMP),
b. mengimplementasikan SPMP dalam konteks sebagai peta mutu pendidikan
c. memahami konsep dasar menganalisis laporan EDS/M-MSPD.
D. Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari pengolahan dan analisis data quality assurance ini adalah sebagai berikut.
1. Kesamaan pemahaman peserta pelatihan tentang pentingnya dan manfaat analisis EDS/ MSPD bagi upaya peningkatan mutu pendidikan,
2. Action Plan (Rencana Kerja) implementasi hasil analisis MSPD di tingkat kabupaten/kota,
3. Tersusunnya mekanisme implementasi MSPD di tingkat kabupaten/kota,
4. Laporan hasil analisis EDS/MSPD yang berupa profil mutu capaian 8 SNP tingkat kabupaten,
5. Rekomendasi program peningkatan mutu pendidikan di tingkat kabupaten/kota berdasarkan hasil analisis MSPD
BAB II
PERSIAPAN KEGIATAN
A. Penyelenggara Kegiatan
Berdasarkan Surat Tugas Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Bali Nomor:1178/F33/KP/2010, tanggal 18 November 2010 Penyelenggara terdiri atas unsur-unsur LPMP Bali yang tersusun sebagai berikut :
1. Team Tabulasi Data
NO NAMA KETERANGAN
1 Dr. I Wayan Sunata Pengarah
2 Drs. I Wayan Arnawa, M.Pd Pengarah Teknis
3 Drs. I Nyoman Sucita,MM Penanggung Jawab Kegiatan
4 Drs. I Made Suparma, M.Pd Koordinator Pengolah Data
5 Drs. I Wayan Suandi, M.Pd Pengolah Data
6 Drs. I Made Suastana, M.Hum Pengolah Data
7 Drs. I Nyoman Sudiana Pengolah Data
8 Drs. I Ketut Gede Suteja,M.Pd Pengolah Data
9 Drs. I Putu Pande Karyana,M.Pd Pengolah Data
10 Drs. I Nengah Nitia,M.Kes Pengolah Data
11 Ni Wayan Murki,S.Pd,MM Pengolah Data
12 I Gst Putu Oka Sumadi,MM Pengolah Data
13 I Made Ariartha,S.Pd Pengolah Data
14 Bambang Harijanto, S.Pd,M.Pd Pengolah Data
15 Komang Dewi Arnawati, S.Si Pengolah Data
16 Ni Made Dewi Oktori,S.Psi Pengolah Data
17 Ni Putu Budi Riniati,S.Pd Pengolah Data
18 Suheldina Krisniwana,S.Pd Pengolah Data
19 Ni Putu Ayu rastiti,S.Sos Pengolah Data
20 AA Ngr Suastika Pengolah Data
2. Team Analisis Dataa
NO NAMA KETERANGAN
21 Ni Made Suciani,S.Pd,M.Pd Koordinator
22 I Wayan Surata,S.Pd,M.Pd Penganalisis
23 I Ketut Suarnaya Penganalisis
24 Ni Wayan Surasmini,S.Si,M.Pd Penganalisis
B. Fasilitator
Fasilitator yang dilibatkan dalam kegiatan ini terdiri atas unsur-unsur kelembagaan sebagai berikut :
a. Pejabat Struktural di Lingkungan LPMP Bali
b. Pejabat Fungsional (Widyaiswara LPMP Bali)
C. Struktur Program
NO. MATERI ALOKASI WAKTU FASILITATOR
UMUM
1. Kebijakan Pendidikan Nasional, 2 JP Kepala LPMP
2. Permendiknas No. 63 Tahun 2009, dan Inpres No. 1 Tahun 2010 2 JP Fasilitator LPMP
KHUSUS
3. Konsep Dasar Agregasi EDS/ MSPD 4 JP Fasilitator LPMP
4. Analisis Hasil Agregasi EDS/MSPD 20 JP Fasilitator LPMP
5. Penyusunan Profil Capaian SNP 12 JP Fasilitator LPMP
6. Presentasi 6 jp Fasilitator LPMP
PENUNJANG
7. Penyusunan Action Plan Tindak Lanjut Hasil 4 JP Fasilitator LPMP
JUMLAH 50 P
D. Penyiapan Sarana dan Prasarana
Guna memperlancar pelaksanaan kegiatan disiapkan beberapa sarana dan prasarana pendukung antara lain :
1. Ruang kegiatan pengolahan peserta dan perlengkapannya (komputer, LCD, white board dan sound system)
2. Ruang akomodasi/konsumsi
3. ATK
4. Perlengkapan dokumentasi (kamera photo, Handycam)
E. Perangkat Evaluasi Program dan Penilaian Hasil Workshop
Guna mengetahui tingkat keberhasilan penyelenggaraan kegiatan telah disiapkan beberapa perangkat evaluasi baik untuk peserta, fasilitator maupun penyelenggara kegiatan.
BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pengolahan data quality assurance dilaksanakan pada tanggal 24 s.d.28 November 2010 bertempat di LPMP Bali.
B. Peserta
Peserta pengolah data quality assurance berjumlah 24 (Dua puluh empat) orang dari unsur struktural dan widayiswara LPMP Bali.
C. Pembiayaan
Biaya penyelenggaraan pengolahan data quality assurance ini dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Bali, Nomor : 0216/023-08.2/XX/2010, tanggal 31 Desember 2009, dengan Rincian Pengeluaran Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran tahun 2010, tanggal 31 Desember 2009.
D. Pelaksanaan
1. Pembukaan
Kegiatan pengolahan data quality assurance dibuka secara resmi oleh Kepala LPMP Bali
Secara garis besar isi sambutannya berikut ini :
Melalui pengolahan data quality assurance diharapkan terbangunnya peta mutu SNP khususnya dalam jenjang pendidikan dasar di provinsi Bali, sehingga dapat membantu stake holder pendidkan dalam upaya melaksanakan penajaminan mutu pendidikan .
2 Alur Kegiatan
• Pengolahan data secara paralel dilaksanakan 24 sampai 28 November 2010, untuk sekolah sasaran di 57 kecamatan, dalam 9 Kabupaten/kota Provinsi Bali.
3 Penutupan
Secara resmi kegiatan pengolahan data quality assurance ditutup oleh Kasi Pemetaan Mutu dan Supervisi LPMP Bali yang secara garis besar isi sambutannya berikut ini : Dengan adanya kegiatan ini diharapkan para peserta menghasilkan output pemetaan mutu terhadap delapan standar pendidikan nasional, dengan memberikan rekomendasi kepada pengambil kebijakan.
E. Hasil yang telah dicapai
Melalui pengolahan data quality assurance ini diharapkan sebagai berikut :
1. Peserta mampu memetakan mutu sekolah khususnya di provinsi sesuai dengan SNP;
2. Peserta mampu mengimplementasikan konsep penjaminan mutu pendidikan yang diamanatkan ketentuan dan pedoman yang berlaku;
3. Peserta dapat memberikan rekomendasi dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di masih-masing satuan pendidikan dan daerah
4. Sebagai referensi daerah dalam merencanakan kegiatan dan anggaran untuk memenuhi SNP di masing-masing sekolah.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Laporan hasil pengolahan data quality assurance ini disusun untuk dijadikan acuan dan petunjuk bagi pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat agar pelaksanaan dan hasil kegiatan ini sesuai dengan yang diharapkan. Laporan ini hanya memberikan acuan yang bersifat umum dan masih general. Pelaksana perlu melengkapi dengan data-data yang lebih detail agar laporan ini benar-benar berdaya dan berhasil guna.
Dengan melaksanakan Pengolahan/ Analisis Data Quality Assurance, sesuai dengan pedoman yang diberikan, diharapkan LPMP dapat menghasilkan profil peta mutu capaian 8 (delapan) Standar Nasional pendidikan untuk tingkat kabupaten/kota dan provinsi, dan agregasi rekomendasi hasil MSPD tingkat kabupaten/kota sebagai dasar penyusunan program-program peningkatan mutu pendidikan oleh pemerintah kota/kabupaten dan provinsi. Melalui kegiatan Analisis Data Quality Assurance para Peserta diharapkan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi dalam memahami dan mengimplementasikan analisis hasil laporan MSPD, sehingga EDS/M-MSPD benar-benar menjadi bagian integral pengembangan budaya mutu pendidikan di wilayahnya masing-masing.
Saran
Demi tercapainya tujuan pendidikan nasional, dan dalam upaya memberikan penjaminan mutu pendidikan maka kegiatan pengolahan dan analisis data quality assurance perlu dilaksanakan secara berkesinambungan sesuai dengan siklus kegiatan penjaminan mutu pendidikan yang dilaksanakan
LAMPIRAN LAPORAN
1. Surat Keputusan Penyelenggaraan Kegiatan
2. Surat Tugas
3. Contoh Hasil Analisa Data
Minggu, 08 Mei 2011
Penelitian Tindakan Kelas (Sebuah Tinjauan)
Bagian 1
Pengantar
Mengapa Diperlukan Penelitian Tindakan Kelas?
Pada dasarnya kualitas pembelajaran di institusi pendidikan tentu berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan. Banyak cara untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, salah satu di antaranya adalah dengan memberi kesempatan kepada para pendidik untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran dan non pembelajaran secara professional melalui action research (penelitian tindakan) secara terkendali. Upaya pendidik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ditemukan dalam tugas-tugas mereka tersebut akan memberikan dampak positif ganda, antara lain:
1. Akan terjadi peningkatan kemampuan para pendidik dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan dan pembelajaran yang nyata.
2. Akan terwujud peningkatan kualitas isi, masukan, proses dan hasil belajar
3. Akan terjadi peningkatan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan lainnya
4. Akan terwujud penerapan prinsip pembelajaran berbasis penelitian
Di masa lalu, dalam upaya peningkatan kemampuan meneliti masih diterapkan paradigma lama. Dalam hal ini upaya cenderung dirancang dengan pendekatan research-development-dissemination (RDD). Pendekatan ini lebih menekankan pada perencanaan penelitian yang bersifat top-down dan bersifat kuat orientasi teoritiknya. Untuk masa sekarang ini, lebih dititikberatkan pada upaya perbaikan mutu yang inisiatifnya berasal dari motivasi internal pendidik dan tenaga kependidikan itu sendiri (an effort to internally initiate endeavor for quality improvement) dan bersifat pragmatis naturalistik.
Penelitian tindakan kelas merupakan salah satu upaya strategis untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Kegiatan penelitian ini dilakukan secara langsung oleh pengajar (guru atau dosen). Topik penelitian berasal dari permasalahan yang ditemukan oleh guru atau dosen itu sendiri, selama menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Jadi dalam hal ini, guru atau dosen bertindak sebagai pelaku pembelajaran namun juga sekaligus bertindak sebagai peneliti. Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna bagi upaya peningkatan kualitas pembelajaran selanjutnya, khususnya bagi proses belajar mengajar di kelas tersebut dan pengajar yang bersangkutan.
Melalui penelitian tindakan kelas, masalah-masalah pendidikan dan pembelajaran dapat dikaji, ditingkatkan dan dituntaskan sehingga dapat diwujudkan secara sistematis proses pendidikan dan pembelajaran yang inovatif dan hasil belajar yang lebih baik. Di samping itu, upaya penelitian tindakan kelas diharapkan dapat menciptakan learning culture (budaya belajar) di kalangan para pendidik baik guru maupun dosen. Dengan penelitian tindakan kelas akan terbuka peluang strategi pengembangan kinerja, karena pendekatan ini menempatkan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya sebagai peneliti, sebagai agen perubahan (change agent) yang pola kerjanya bersifat kolaboratif.
Bagian 2
SEKILAS TENTANG PENELITIAN TINDAKAN KELAS
A. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas
Dewasa ini, penelitian tindakan kelas sudah banyak dikenal di Indonesia. Para praktisi pendidikan sering menyebutnya dengan singkatan PTK. Dalam dunia internasional, PTK biasa dikenal sebagai classroom action research (CAR). Menurut Rustam, Mundilarto (2004), penelitian tindakan kelas adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan jalan merancang, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.
Secara lebih lengkap John Elliot dalam Burch (2004) mendefinisikan PTK sebagai berikut:
"Action research is the process through which teachers collaborate in evaluating their practice jointly; raise awareness of their personal theory; articulate a shared conception of values; try out new strategies to render the values expressed in their practice more consistent with the educational values they espouse; record their work in a form which is readily available to and understandable by other teachers; and thus develop a shared theory of teaching by researching practice."
Dari pengertian di atas ada beberapa poin penting yang dapat diambil yaitu:
1. Guru berkolaborasi untuk mengevaluasi praktik mereka
2. Membuka kesadaran mengenai teori personal mereka
3. Mengartikulasikan konsepsi bersama tentang nilai-nilai
4. Mencoba strategi baru dalam praktik
5. Mencatat hasil kerja dalam bentuk yang bisa dimengerti oleh guru lain
6. Mengembangkan teori bersama tentang pembelajaran melalui praktik riset
Arikunto (2007) menjelaskan bahwa masing-masing kata yang menyusun istilah “penelitian tindakan kelas” memiliki pengertian masing-masing. Berikut ini disampaikan pengertian dari ketiga kata tersebut.
1. Penelitian
Kata “penelitian” menunjuk pada kegiatan untuk mencermati suatu obyek dengan menggunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat dalam meningkatkan mutu suatu hal yang menarik minat dan penting bagi peneliti.
2. Tindakan
Kata “tindakan” menunjuk pada suatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu. Dalam penelitian berbentuk rangkaian siklus kegiatan untuk siswa.
3. Kelas
Kelas dalam hal ini tidak terikat pada pengertian ruang kelas, tetapi dalam pengertian yang lebih spesifik. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran, yang dimaksud dengan kelas adalah sekelompok siswa (atau mahasiswa di perguruan tinggi) yang dalam waktu yang sama menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula.
Dari pengertian masing-masing kata di atas, selanjutnya dapat disimpulkan bahwa PTK merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh guru atau dengan arahan dari guru yang dilakukan oleh siswa. Dalam hal ini, seharusnya guru menonjolkan kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa, bukan kegiatan yang dilakukan oleh guru (Arikunto, 2007).
Dari pengertian PTK, dapat kita pahami bahwa jenis penelitian ini memerlukan penonjolan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh peserta didik pada kelas mereka.
Jelaslah bahwa PTK perlu menonjolkan tindakan peserta didik dan tidak terbatas dilakukan di ruang kelas.
Proses pembelajaran di berbagai macam kelas ini memiliki keunikan masing-masing. Setiap jenis kelas pasti memiliki ciri khas masing-masing yang berbeda dengan jenis kelas lainnya, sehingga untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal, tentu proses pembelajaran di masing-masing kelas ini harus disesuaikan. Hal tersebut merupakan suatu tantangan bagi guru atau dosen di lingkungan pendidikan tenaga kesehatan. Dalam hal ini PTK merupakan salah satu langkah strategis untuk menjawab tantangan tersebut. Dengan PTK diharapkan dapat ditemukan metode pembelajaran yang paling sesuai bagi masing-masing kelas tersebut.
B. Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas
Soedarsono (2005), mengemukakan bahwa jika dibandingkan dengan penelitian konvensional, PTK memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik pokok yang dimiliki oleh PTK diuraikan sebagai berikut:
1. Situasional
PTK bersifat situasional yaitu berkaitan langsung dengan permasalahan konkret yang dihadapi oleh pendidik di kelas. Dasar kegiatan PTK adalah masalah keseharian yang dirasakan dan dihayati dalam melaksanakan pembelajaran yang selalu muncul, walaupun peserta didik yang dihadapi oleh pendidik berlainan pada setiap semester. Ini berarti bahwa PTK adalah an inquiry on practice from within.
2. Kontekstual
PTK bersifat kontekstual yang berarti bahwa PTK merupakan sebuah upaya pemecahan masalah yang berupa model dan prosedur tindakan tidak lepas dari konteksnya, bisa berupa konteks budaya, sosial politik, dan ekonomi saat proses pembelajaran berlangsung.
3. Kolaboratif
PTK adalah a collaborative effort and or participative. Hal ini menandakan bahwa PTK merupakan tindakan dan upaya perbaikan dilakukan secara bersama-sama antara pendidik dan peserta didik secara kolaboratif dan partisipatif. Dalam hal ini peserta didik bukanlah obyek penelitian yang dikenai tindakan, melainkan juga sebagai pelaku aktif dalam kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Dalam PTK, pendidik berperan sebagai pengajar, juga sekaligus berperan sebagai peneliti.
4. Self reflective dan self evaluative
Di dalam PTK, pelaksana, pelaku tindakan, dan obyek yang dikenai tindakan melakukan refleksi dan evaluasi diri terhadap kemajuan yang berhasil dicapai. Hasil dari refleksi dan evaluasi diri ini dapat digunakan sebagai dasar untuk modifikasi perubahan dalam kegiatan pembelajaran. Laporan PTK harus memenuhi kaidah metodologi ilmiah sehingga kesimpulan atau temuan-temuan berupa model maupun prosedur upaya perbaikan, peningkatan dan perubahan menuju keadaan yang lebih baik dapat disebarluaskan kepada publik.
5. Fleksibel
PTK dilaksanakan dengan beberapa kelonggaran, namun tidak melanggar kaidah metode ilmiah. Di antara kelonggaran yang diizinkan antara lain tak ada sampling, menggunakan instrumen pengumpulan data yang bersifat informal. Tetapi bukan berarti prosedur formal tak boleh diterapkan dalam PTK. Jika misalnya PTK membutuhkan suatu instrumen pengumpulan data formal untuk eksperimen, tentu saja hal ini dapat dilakukan.
PTK memiliki perbedaan-perbedaan fundamental jika dibandingkan dengan penelitian konvensional. Soedarsono (2005) menguraikan perbedaan fundamental ini dari berbagai aspek yaitu aspek masalah, tujuan, manfaat atau kegunaan, teori serta metodologi atau desain, sebagaimana tertera pada Tabel 1.
Gwynn Mettetal (2006), seorang profesor dalam bidang psikologi pendidikan dari School of Education, Indiana University South Bend juga menyusun rincian perbedaan antara penelitian tindakan dengan penelitian formal dipandang dari aspek pelatihan yang diperlukan, tujuan penelitian, masalah penelitian, tinjauan literatur, pengambilan sampel, rancangan penelitian, prosedur pengukuran, analisis data serta penerapan hasil penelitian. Tabel 2 menampilkan rincian perbedaan yang telah dikemukakan tersebut.
Dua tabel perbedaan tersebut dapat dimanfaatkan oleh para guru dan dosen sebagai pedoman pokok untuk melaksanakan PTK. Kebiasaan yang sudah lama dalam melakukan penelitian formal, mungkin akan berpengaruh terhadap kegiatan baru yaitu pelaksanaaan penelitian tindakan kelas, sehingga rincian perbedaan tersebut dapat menjadi rambu-rambu yang bermanfaat bagi guru atau dosen selama melaksanakan PTK supaya kesalahan-kesalahan dapat dihindari.
Tabel 1
Perbedaan Fundamental Antara Penelitian Tindakan Kelas
dengan Penelitian Konvensional
Aspek Penelitian
Tindakan Kelas Penelitian
Konvensional
1. Masalah Masalah dirasakan dan dihadapi oleh peneliti (calon) dalam melaksanakan tugas pekerjaan Masalah dan hasil pengamatan pihak lain termasuk sponsor
2. Tujuan Melakukan perbaikan, peningkatan dan atau perubahan ke arah yang lebih baik Menguji hipotesis, membuat generalisasi, mencari eksplanasi
3. Manfaat Langsung terlihat dan dapat dinikmati oleh konsumen serta obyek penelitiannya Tidak langsung terlihat dan dipakai sebagai saran-saran
4. Teori Dipakai sebagai dasar untuk memilih dan menentukan aksi atau solusi tindakan Dipakai sebagai dasar perumusan hipotesis/ pertanyaan penelitian
5. Metodologi
Bersifat lebih fleksibel sesuai dengan konteks tanpa mengorbankan azas ilmiah metodologi. Langkah kerja bersifat siklik (ada siklus) dan setiap siklus ada empat tahapan. Analisis terjadi dalam proses setiap siklus. Menuntut paradigma penelitian yang jelas. Langkah kerja cenderung linear. Analisis dilakukan sesudah data terkumpul, khususnya dalam penelitian kuantitatif.
Sumber: Soedarsono FX. 2005. Aplikasi Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Pusat Antar Universitas Untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Universitas Terbuka (PAU-PPAI-UT)
Tabel 2
Perbedaan Antara Penelitian Tindakan dan Penelitian Formal
Topik
Penelitian Formal Penelitian Tindakan
Pelatihan yang diperlukan oleh peneliti Ekstensif Sendiri atau dengan konsultasi
Tujuan penelitian Pengetahuan yang dapat digeneralisasikan Pengetahuan untuk diaplikasikan pada situasi lokal
Metode identifikasi masalah Tinjauan penelitian sebelumnya Masalah atau tujuan dihadapi saat ini
Prosedur tinjauan literature Ekstensif, menggunakan sumber primer Lebih singkat, menggunakan sumber sekunder
Pendekatan sampling Random (acak) atau sampling representative Peserta didik atau klien di mana mereka bekerja
Rancangan penelitian Kontrol tegas, kerangka waktu panjang Prosedur lebih bebas, berubah selama studi, kerangka waktu cepat, kontrol melalui triangulasi
Prosedur pengukuran Pengukuran evaluasi dan pretest Pengukuran mudah atau tes terstandar
Analisis data Tes statistikal, teknik kualitatif Berfokus pada praktik, bukan signifikansi statistikal, menghadirkan raw data
Penerapan hasil Menekankan kepada signifikansi teoritik Menekankan kepada signifikansi praktik
Sumber: Mettetal Gwynn. 2006. Classroom Action Research Overview. http://mypage.iusb.edu/gmetteta_Classroom_Action_Research.html\mypage.iusb.edu\_gmetteta\Classroom_Action_Research.html
C. Tujuan Penelitian Tindakan Kelas
Sulipan (2008) mengemukakan bahwa tujuan dari dilaksanakannya PTK adalah untuk memecahkan masalah, memperbaiki kondisi, mengembangkan dan meningkatkan mutu pembelajaran.
Ditjen Dikti Depdiknas RI (2004) menjabarkan secara lebih rinci mengenai tujuan dilaksanakannya PTK yaitu:
1. Meningkatkan mutu isi, masukan, proses dan hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah
2. Membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam mengatasi masalah pembelajaran dan pendidikan di dalam dan di luar kelas
3. Meningkatkan sikap profesional pendidik dan tenaga kependidikan
4. Menumbuhkembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi, sehingga tercipta sikap proaktif di dalam perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan (sustainable)
5. Meningkatkan keterampilan pendidik dan tenaga kependidikan dalam melakukan PTK
6. Meningkatkan kerjasama profesional di antara pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah dan perguruan tinggi
D. Pelaksana Penelitian Tindakan Kelas
Sebagaimana disinggung di bagian depan, guru (termasuk juga dosen dan tenaga kependidikan lainnya) merupakan orang yang paling tepat untuk melakukan penelitian tindakan kelas. Mengapa demikian? Rustam, Mundilarto (2004) memberikan alasan sebagai berikut:
1. Guru mempunyai otonomi untuk menilai kinerjanya
2. Temuan penelitian tradisional sering sukar diterapkan untuk memperbaiki pembelajaran
3. Guru merupakan orang yang paling akrab dengan kelasnya
4. Interaksi guru-siswa berlangsung secara unik
5. Keterlibatan guru dalam berbagai kegiatan inovatif yang bersifat pengembangan mempersyaratkan guru untuk mampu melakukan PTK di kelasnya.
Jelas bahwa sudah seharusnyalah tenaga pendidik melakukan penelitian. Mungkin hal ini akan menjadi hal biasa bagi sebagian guru, namun mungkin juga bagi sebagian guru yang lain akan menjadi hal yang terasa asing atau bahkan terasa berat untuk dilakukan. Mungkin juga akhirnya timbul pertanyaan: Mengapa guru harus meneliti? Bukankah guru mengajar berdasarkan pengetahuan yang telah diperolehnya di lembaga pendidikan, dan itu semua didapatkan dari penelitian orang lain? Bukankah pengetahuan-pengetahuan itu ditemukan oleh para ahli dan peneliti profesional yang lebih dapat diandalkan? Dengan demikian mengapa guru harus bersusah payah meneliti sendiri? Jika kita semua setuju terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, maka berarti suara guru akan benar-benar tidak terdengar dalam kegiatan penelitian. Ini semua mungkin saja terjadi dilingkungan pendidikan kita. Pengetahuan guru yang dihasilkan dari dalam kelas dipandang tidak berkualitas dan tidak diperhitungkan di dalam literatur.
Pada kenyataannya, selama ini memang umumnya pengetahuan dihasilkan oleh para ahli dan para profesor di universitas yang dilakukan melalui penelitian tradisional. Hasil penelitian ini selanjutnya dinikmati oleh publik setelah diterbitkan dalam berbagai bentuk. Yang patut disayangkan, suara guru jarang terdengar dalam literatur-literatur ini. Richert (1992), Rosa (1992) Smyth (1992) dalam Jenne (1994) dalam Wiriaatmadja (2007) menyatakan bahwa kondisi di atas disebabkan oleh kondisi organisasi dan budaya sekolah yang menciptakan kondisi guru dengan citra yang rendah dalam status sosial, pekerjaan berat, dan standar performansi yang rendah pula.
Dari uraian di atas, ada jawaban utama yang mantap terhadap pertanyaan: Mengapa guru harus melakukan penelitian tindakan kelas? Jawaban tersebut adalah bahwa dengan melakukan PTK, guru akan dapat mengubah citra dan meningkatkan kemampuan profesionalnya. Dalam hal ini guru atau dosen yang profesional adalah mereka yang selalu mengembangkan diri untuk memenuhi tuntutan dalam tugasnya sebagai pendidik. Guru dan dosen yang profesional akan bangga melakukan penelitian tindakan kelas sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas cara mengajar, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap kualitas pembelajaran.
Kita para guru dan dosen di lingkungan pendidikan tenaga kesehatan, tidakkah timbul keinginan untuk segera melakukan penelitian tindakan kelas? Mari selalu kita ingat bahwa penelitian tindakan kelas sangat berkaitan dengan profesionalisme.
E. Manfaat Penelitian Tindakan Kelas bagi Guru dan Dosen
Banyak manfaat yang diperoleh oleh guru dan dosen setelah melakukan PTK kelas antara lain:
1. Membantu guru memperbaiki mutu pembelajaran
2. Meningkatkan profesionalisme guru
3. Meningkatkan rasa percaya diri guru
4. Memungkinkan guru secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya
(Rustam, Mundilarto, 2004)
Donner (2001) mengemukakan beberapa efek dari PTK yang bersumber dari Fairfax County Public Schools, Office of Research and Policy Analysis sebagai berikut:
1. Meningkatkan pertukaran dan kolaborasi lintas departemen, lintas disiplin dan lintas tingkatan
2. Meningkatkan dialog tentang isu-isu pembelajaran dan proses belajar siswa
3. Mewujudkan komunikasi antara guru dan siswa
4. Mengembangkan performansi siswa
5. Merevisi praktik berdasarkan pengetahuan baru tentang belajar dan mengajar
6. Guru terdesain dan mengawali perkembangan staf
7. Perkembangan prioritas untuk rencana pengembangan sekolah dan pengkajian upaya
8. Kontribusi kepada badan pengetahuan dari profesi tentang belajar dan mengajar
F. Keterbatasan Penelitian Tindakan Kelas
Dibalik besarnya manfaat bagi para guru dan dosen, PTK memiliki beberapa keterbatasan, antara lain:
1. Validitasnya yang masih sering disangsikan
2. Tidak mungkin melakukan generalisasi karena sampel sangat terbatas
3. Peran guru yang bertindak sebagai pengajar dan sekaligus peneliti sering membuat sangat repot
(Rustam, Mundilarto, 2004)
G. Model Penelitian Tindakan Kelas
Langkah-langkah atau prosedur PTK didasarkan pada model PTK. Selama ini dikenal berbagai model PTK, namun pada dasarnya terdapat empat tahap yang harus dilalui yaitu (1) perencanan (planning), (2) pelaksanaan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting). Keempat tahap tersebut merupakan satu siklus dan akan dapat berlanjut kepada siklus kedua, siklus ketiga dan seterusnya sesuai dengan apa yang diinginkan dalam penelitian.
Banyak cara penggambaran siklus dalam PTK ini. Umumnya siklus yang berkelanjutan dalam peneltian tindakan digambarkan sebagai suatu spiral. Sebagai contoh, dalam tulisan ini disampaikan salah satu model penelitian tindakan dari Kemmis dalam Hopkins (1985) dalam Gabel (1995) yang mengilustrasikan keempat langkah dalam PTK tersebut sebagai spiral seperti tampak pada Gambar 3.
Contoh lain yang hampir sama adalah model penelitian tindakan dari Kemmis dan McTaggart (1988) dalam Hughes & Seymour-Rolls (2000) seperti tampak pada Gambar 4. Perbedaan model ini dengan model yang pertama adalah bahwa tahap pelaksanaan dan pengamatan dilakukan secara bersamaan. Kedua tahap tersebut dilaksanakan secara bersamaan karena idealnya pelaksanaan tindakan kelas dilakukan oleh seorang guru atau dosen, sedangkan dosen lainnya bertindak sebagai observer yang pada saat itu pula mengamati perubahan-perubahan yang terjadi selama tindakan pada kelas tersebut. Akan tetapi bukan berarti dosen yang melakukan tindakan tidak boleh melakukan observasi sendiri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada kelas.
Contoh ketiga disampaikan oleh Riel (2007) melalui Center for Collaborative Action Research Pepperdine University, dengan sedikit perbedaan penamaan pada langkah ketiga yaitu bukan observasi, melainkan collect and analyze evidence (pengumpulan dan analisis data). Meskipun terdapat perbedaan penamaan pada langkah ke tiga, namun sebenarnya kegiatan yang dilakukan pada tahap ini tidak jauh berbeda dengan kedua model sebelumnya, karena dalam tahap observasi ini, inti kegiatan yang dilakukan adalah pengumpulan dan analisis data. Ilustrasi lengkap disajikan pada Gambar 5.
Gambar 3
Siklus Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Spiral
Menurut Kemmis dalam Hopkins (1985)
(Sumber: Gabel Dorothy. 1995. An Introduction to Action Research. http://physicsed.buffalostate.edu/danowner/actionrsch.html)
Gambar 4
Siklus Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Spiral
Menurut Kemmis dan McTaggart (1988)
(Sumber: Hughes I & Seymour-Rolls K. 2000. Participatory Action Research: Getting the Job Done. Action Research E-Reports, 4. http://www.fhs.usyd.edu.au/arow/arer/004.htm)
Gambar 5
Siklus Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Spiral
Menurut Riel (2007)
(Sumber: Riel M. 2007. Understanding Action Research.
Pepperdine University: Center for Collaborative Action Research. http://cadres.pepperdine.edu/ccar/define.html)
1. Perencanaan (planning)
Pada tahap pertama ini peneliti harus menjelaskan tentang apa, mengapa, kapan, di mana, oleh siapa dan bagaimana tindakan dilakukan. Idealnya kegiatan dilakukan secara berpasangan untuk bekerja secara kolaboratif. Pihak pertama melakukan tindakan dan pikah kedua melakukan observasi terhadap tindakan, sehingga subyektifitas dapat dikurangi dan observasi menjadi lebih cermat. Lain halnya jika pelaksana tindakan dan observer adalah orang yang sama, meskipun hal ini juga bisa dilakukan juga dalam PTK.
Kegiatan-kegiatan pada tahap perencanaan adalah penentuan titik atau fokus peristiwa yang perlu mendapatkan perhatian khusus untuk diamati, kemudian pembuatan instrumen observasi untuk merekam fakta selama berlangsungnya tindakan. Jika pelaksana tindakan dan observer adalah orang yang berbeda, maka harus dibuat kesepakatan terlebih dahulu antara pihak pelaksana dan pihak peneliti.
2. Pelaksanaan (acting)
Tahap ini adalah waktu untuk melaksanakan isi perencanaan yaitu melaksanakan tindakan di kelas. Pihak guru pelaksana tindakan harus mengingat betul dan berusaha agar mengikuti apa yang sudah dirumuskan dalam tahap perencanaan, juga harus berlaku wajar, tidak dibuat-buat. Kesesuaian antara planning dan acting akan diperhatikan secara seksama dalam refleksi.
Saat menyusun laporan penelitian, peneliti tidak lagi melaporkan perencanaan, melainkan langsung pada pelaksanaan. Oleh sebab itu bentuk dan isi laporan harus sudah dapat menggambarkan semua kegiatan yang dilakukan, mulai dari persiapan sampai dengan penyelesaian.
3. Pengamatan (observing)
Sesungguhnya tahap pengamatan dilaksanakan bersamaan dengan tahap pelaksanaan. Pada saat guru pertama melaksanakan tindakan di kelas, guru kedua melaksanakan observasi terhadap hal-hal yang disepakati untuk diamati selama tindakan berlangsung. Jika pelaksana dan observer adalah guru yang sama, tentu pada saat melaksanakan tindakan ia akan memusatkan perhatiannya pada tindakan, sehingga tidak sempat menganalisis peristiwa yang sedang terjadi. Oleh karena itu peneliti harus melakukan pengamatan balik terhadap apa yang terjadi ketika tindakan berlangsung. Sambil melakukan pengamatan balik ini, guru pelaksana mencatat sedikit demi sedikit apa yang terjadi agar memperoleh data yang akurat untuk perbaikan siklus berikutnya.
4. Refleksi (reflecting)
Pada tahap ini peneliti mengemukakan kembali apa yang telah dilakukan. Kegiatan refleksi ini sangat tepat dilakukan ketika guru pelaksana sudah melakukan tindakan, kemudian berhadapan dengan peneliti untuk mendiskusikan implementasi rancangan tindakan. Dalam hal ini guru pelaksana sedang merefleksikan (memantulkan) pengalamannya kepada peneliti yang baru saja mengamati kegiatannya dalam tindakan.
Inti dari penelitian tindakan adalah ketika guru pelaksana tindakan siap mengatakan kepada observer (guru peneliti) tentang hal-hal yang dirasakan telah berjalan baik dan hal-hal dirasakan belum berjalan baik. Dapat dikatakan bahwa guru pelaksana sedang melakukan self evaluation (evaluasi diri). Jika guru pelaksana dan guru observer adalah orang yang sama, maka ia harus melakukan refleksi kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain, guru tersebut melihat dirinya kembali melakukan “dialog” untuk menemukan hal-hal yang dirasakan sudah memuaskan karena sudah sesuai dengan rancangan. Selain itu harus mengenali hal-hal yang masih perlu perbaikan secara cermat.
Jika PTK dilakukan dalam beberapa siklus, maka dalam tahap refleksi terakhir, peneliti menyampaikan rencana yang disarankan kepada peneliti lain apabila ia menghentikan kegiatannya, atau kepada diri sendiri apabila peneliti akan melanjutkannya pada kesempatan yang lain.
Bagian 3
TAHAP PERENCANAAN
DALAM PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Sebelum membicarakan uraian mengenai tahap perencanaan (planning), perlu kita lihat kembali bahwa kedudukan tahap perencanaan ini adalah berada pada bagian awal setiap siklus dalam model PTK (Gambar 3, 4 dan 5), yang kemudian akan diikuti oleh tahap tindakan, observasi dan terakhir refleksi. Berdasarkan perpaduan dari berbagai sumber mengenai penelitian tindakan, diketahui bahwa tahap perencanaan dalam PTK berisi enam langkah penting yaitu: (1) identifikasi masalah, (2) analisis masalah, (3) analisis penyebab masalah, (4) perumusan masalah, (5) pengembangan intervensi (action/solution), dan (6) analisis kelayakan solusi untuk pemecahan masalah.
A. Identifikasi Masalah
Selama mengajar, kemungkinan guru atau dosen menemukan berbagai masalah, baik masalah yang bersifat pengelolaan kelas, maupun yang bersifat instruksional. Meskipun banyak masalah, ada kalanya guru atau dosen tidak sadar kalau dia mempunyai masalah, atau masalah yang dirasakan kemungkinan masih kabur sehingga guru atau dosen perlu merenung atau melakukan refleksi agar masalah tersebut menjadi semakin jelas. Oleh karena itu, supervisor (misalnya kepala sekolah, ketua program studi, ketua jurusan, bagian akademik atau yang lainnya) perlu mendorong guru atau dosen untuk menemukan masalah. Baik juga guru atau dosen memulai dengan suatu gagasan untuk melakukan perbaikan kemudian mencoba memfokuskan gagasan tersebut. Untuk melakukan hal ini, guru atau dosen dapat merenungkan kembali apa yang telah dilakukan. Jika guru rajin membuat catatan pada akhir setiap pembelajaran yang dikelolanya, maka ia akan dengan mudah menemukan masalah yang dicarinya.
Agar mampu merasakan dan mengungkapkan adanya masalah, maka seorang guru dituntut jujur pada diri sendiri dan melihat pembelajaran yang dikelolanya sebagai bagian penting dari dunianya. Guru harus merasakan adanya tanggung jawab moral untuk terus memperbaiki kinerjanya, dengan cara selalu berusaha mencari permasalahan-permasalahan yang perlu diperbaiki. Setelah mengetahui permasalahan yang ada, selanjutnya dilakukan analisis dan perumusan masalah agar dapat dilakukan tindakan yang tepat sesuai dengan permasalahan.
Pada dasarnya masalah adalah kesenjangan antara das sollen (apa yang diharapkan tercapai) dengan das sein (hasil yang dapat dicapai). Yang penting untuk diketahui adalah bahwa setelah masalah diidentifikasi, belum tentu masalah tersebut layak untuk diteliti. Masalah yang sudah jelas faktor penyebabnya seharusnya langsung saja diberi intervensi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tidak perlu lagi diteliti mengenai faktor-faktor penyebab masalah tersebut. Namun jika masalah yang diidentifikasi mempunyai beberapa kemungkinan faktor penyebab, maka penelitian perlu dilakukan untuk menentukan faktor yang paling dominan, bagaimana hubungan antar faktor tersebut, tingkat signifikansi sebagai faktor yang terkait dengan masalah pokok dan sebagainya.
Soedarsono (2005) menyampaikan beberapa langkah praktis yang dapat ditempuh oleh guru atau dosen dalam mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Menuliskan semua hal yang dirasakan memerlukan perhatian dan kepedulian karena akan mempunyai dampak yang tak diharapkan, terutama yang terkait dengan pembelajaran seperti intensitas waktu pembelajaran, penyampaian, daya tangkap dan daya serap mahasiswa, alat/media pembelajaran, manajemen kelas, motivasi, sikap dan nilai perilaku mahasiswa.
2. Memilah dan mengklasifikasikan masalah menurut jenis atau bidang permasalahannya, jumlah mahasiswa yang mengalami dan tingkat frekuensi yang timbul.
3. Mengurutkan masalah dari yang paling ringan, jarang terjadi, dan banyaknya mahasiswa yang mengalami dari masing-masing jenis permasalahannya.
4. Mengambil 3-5 masalah dari setiap urutan dan mengkonfirmasikannya kepada dosen yang mengajar mata kuliah yang sama atau sejenis, baik di dalam satu program studi maupun pada program studi yang lain. Jika masalah yang dirumuskan ternyata mendapatkan konfirmasi, maka masalah tersebut memang merupakan masalah yang layak untuk diangkat sebagai calon masalah dalam PTK.
5. Masalah yang dikonfirmasi tersebut kemudian dikaji kelayakannya dan atau signifikansinya untuk dipilih.
6. Jika memerlukan pendampingan dari peneliti perguruan tinggi, maka fungsinya adalah sebagai pemantul gagasan, membantu mempertajam dalam merumuskan masalah, dan bukan sebagai pemberi masalah.
B. Analisis Masalah
Analisis masalah adalah kajian terhadap permasalahan dipandang dari segi kelayakan masalah tersebut untuk diteliti. Sebagai acuan, dapat diajukan beberapa pertanyaan bantuan untuk memudahkan proses analisis masalah. Berikut ini adalah beberapa pertanyaan yang perlu dijawab:
1. Konteks, situasi dapat diajukan di mana masalah terjadi
2. Kondisi-kondisi prasyarat untuk terjadinya masalah
3. Keterlibatan komponen, aktor yang terlibat dalam proses terjadinya masalah
4. Kemungkinan adanya alternatif solusi yang dapat diajukan untuk memecahkan masalah
5. Ketepatan waktu, lama yang diperlukan untuk pemecahan masalah
Analisis masalah tersebut digunakan untuk merencanakan tindakan, baik dalam penentuan spesifikasi/jenis tindakan, keterlibatan aktor yang berkolaborasi (peran), waktu dalam siklus, identifikasi indikator perubahan peningkatan dari dampak tindakan, cara pemantauan kemajuan, dan sebagainya. Formulasi tindakan akan dapat dilakukan dengan baik jika analisis masalah dapat dilakukan dengan baik.
C. Analisis Penyebab Masalah
Dari masalah yang ditemukan, dapat ditelusuri penyebab timbulnya masalah (probable cause). Setelah berhasil mengidentifikasi masalah yang riil, problematik, bermanfaat dan feasible, barulah diidentifikasi apakah kemungkinan penyebab dari masalah tersebut.
Analisis penyebab timbulnya masalah dapat dicari dengan mudah melalui cara kolaboratif yaitu brainstorming (curah pendapat). Setelah ditemukan berbagai kemungkinan penyebab dari masalah tersebut, suatu solusi atau tindakan alternatif dapat dikembangkan. Untuk memastikan akar penyebab dari masalah, dapat diterapkan beberapa teknik pengumpulan data antara lain: mengembangkan angket, wawancara dengan mahasiswa, dan observasi langsung di kelas.
Dari berbagai kemungkinan penyebab masalah yang ada, untuk memastikan penyebab yang paling mungkin, mahasiswa dapat dimintai pendapatnya melalui wawancara mengenai apa sebenarnya yang menjadi penyebab masalah tersebut. Data dicoba diidentifikasi dan dianalisis untuk menentukan penyebab yang paling mungkin. Dalam hal ini data dikumpulkan melalui angket, wawancara dan observasi kelas. Selanjutnya data dianalisis secara kolaboratif dan disimpulkan.
D. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dapat juga disebut sebagai formulasi masalah. Ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam merumuskan masalah yaitu aspek substansi, aspek formulasi, dan aspek teknis.
1. Aspek substansi
Dipandang dari aspek substansi atau isi yang terkandung di dalam masalah, perlu dinilai bobot atau kegunaan pemecahan masalah melalui tindakan antara lain nilai aplikatif untuk memecahkan masalah serupa yang dihadapi oleh dosen, kegunaan metodologik dengan ditemukannya model tindakan dan prosedurnya, serta kegunaan teoritik dalam memperkaya atau mengoreksi teori pembelajaran yang berlaku. Dari segi orisinalitas, perlu dilihat apakah pemecahan masalah dengan model tindakan itu merupakan suatu hal baru yang belum pernah dilakukan oleh dosen sebelumnya. Jika sudah pernah dilakukan, berarti hanya merupakan pengulangan atau replikasi saja.
2. Aspek formulasi
Dipandang dari aspek formulasi, masalah sebaiknya dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya. Rumusan masalah harus dinyatakan secara eksplisit dan spesifik mengenai apa yang diungkap dalam masalah tersebut.
Berkaitan dengan cara merumuskan masalah ini, Madison Metropolitan School District Action Research Group (2001) telah mengemukakan serangkaian guidelines for developing a question (panduan untuk mengembangkan pertanyaan) yaitu:
a) Pertanyaan tersebut belum terjawab
b) Pertanyaan level lebih tinggi ingin memperoleh penjelasan, alasan, atau hubungan, misalnya:
“Bagaimana …?”
“Apa yang terjadi jika …?”
c) Bukan pertanyaan dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”
d) Menggunakan bahasa sehari-hari, hindari jargon
e) Jangan terlalu panjang, singkat saja, tidak harus memuat sesuatu yang Anda pikirkan
f) Sesuatu yang manageable (dapat dikelola) sehingga kita dapat menyelesaikan masalah tersebut
g) Sesuatu yang do-able (dapat dikerjakan), dalam konteks pekerjaan Anda
h) Ikuti keinginan Anda
i) Jaga masalah terbatas pada praktik Anda sendiri: lebih jauh Anda melangkah, lebih banyak pekerjaan
j) Seharusnya memiliki tekanan: memberikan Anda peluang untuk mengembangkan
k) Berarti bagi Anda: memberi Anda pemahaman lebih dalam mengenai topik tersebut.
l) Pertanyaan memicu timbulnya pertanyaan lain.
3. Aspek teknis
Dipandang dari aspek teknis, masalah berhubungan dengan kemampuan dan kelayakan peneliti untuk melakukan penelitian terhadap masalah yang dipilih. Ada beberapa hal dapat digunakan sebagai pertimbangan di antaranya: kemampuan teoritik dan metodologi pembelajaran, penguasaan materi ajar, penguasaan terhadap metodologi penelitian tindakan, ketersediaan fasilitas untuk melakukan penelitian seperti dana, waktu, tenaga dan perhatian terhadap masalah yang akan dipecahkan. Disarankan memulai PTK dari permasalahan yang sederhana namun bermakna, agar dosen dapat melaksanakan di kelasnya dan tidak memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang besar.
Berikut ini adalah beberapa contoh perumusan masalah dalam PTK:
- Apakah metode pembelajaran konstruktivistik mampu meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran agama?
- Apakah penerapan problem based learning (PBL) dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam memecahkan masalah dalam mata pelajaran agama?
- Seberapa jauh penerapan PBL dapat meningkatkan kemampuan dalam pemecahan masalah pada mata pelajaran agama?
- Apakah diskusi partisipatif dapat mendorong siswa untuk belajar lebih bersemangat?
- Apakah siswa bersungguh-sungguh dalam memikirkan giliran berbicara dan melaporkan hasil diskusi jatahnya?
- Apakah siswa dapat menguasai materi dengan baik setelah mengikuti pembelajaran dengan metode diskusi partisipatif?
-
E. Pengembangan Intervensi
Intervensi yang direncanakan didasarkan pada hasil penemuan akar penyebab masalah. Tentunya intervensi yang dipilih harus terdukung oleh sumberdaya yang ada. Sebagai contoh, jika akar penyebab masalah adalah kualitas proses pembelajaran, melalui kolaborasi perlu dikembangkan berbagai alternatif tindakan, misalnya menggunakan metode diskusi, menggunakan pendekatan cooperative learning, peningkatan variasi metode pembelajaran, peningkatan mutu pembelajaran, tugas semester, dan sebagainya. Dari berbagai alternatif yang ada, selanjutnya dilakukan penyaringan lagi berdasarkan faktor-faktor pendukung yang ada antara lain waktu, biaya, dukungan sarana dan prasarana, dukungan lembaga, dan sebagainya.
Untuk memutuskan intervensi yang akan dikembangkan pada siklus pertama, peneliti berpikir dan berkolaborasi tentang faktor-faktor yang menguatkan dan melemahkan intervensi. Langkah ini disebut sebagai analisis medan kekuatan (force field analysis), artinya dipilih intervensi yang terdukung oleh faktor-faktor yang menguatkan. Setelah mempertimbangkan feasibility intervensi tersebut, akhirnya diputuskan bentuk intervensi yang paling mungkin dilakukan, misalnya bedside teaching. Inilah intervensi yang ditawarkan untuk siklus penelitian tindakan kelas.
Tahap ini dapat disetarakan dengan istilah lain yaitu formulasi solusi, karena pada dasarnya memuat hal yang sama. Formulasi solusi berbentuk hipotesis tindakan. Hipotesis tindakan adalah dugaan yang akan terjadi jika suatu tindakan dilakukan. Misalnya jika bedside teaching dilakukan, maka akan terjadi peningkatan kemampuan psikomotor mahasiswa dalam menerapkan tindakan keperawatan medikal bedah.
Rumusan hipotesis tindakan berbeda dengan hipotesis penelitian konvensional. Jika hipotesis konvensional menyatakan adanya hubungan antara dua atau lebih variabel atau adanya perbedaan mean antara dua atau lebih kelompok, hipotesis tindakan menyatakan bahwa jika dilakukan tindakan tertentu, kita percaya bahwa tindakan tersebut merupakan pemecahan masalah yang kita teliti.
Untuk membangun hipotesis tindakan, diperlukan landasan yang kokoh yang dapat diperoleh dengan melakukan kajian terhadap:
1. Teori pembelajaran dan teori pendidikan
2. Hasil-hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan
3. Hasil diskusi dengan teman sejawat, pakar, peneliti dan sebagainya
4. Pendapat dan saran dari pakar pendidikan
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan hipotesis tindakan yaitu:
1. Perlu dirumuskan alternatif-alternatif tindakan untuk pemecahan-pemecahan masalah berdasarkan hasil kajian. Alternatif tindakan hendaknya mempunyai landasan yang mantap secara teoritis atau konseptual.
2. Setiap alternatif pemecahan perlu dikaji ulang atau dievaluasi dari segi bentuk tindakan dan prosedurnya, segi kelayakan, kemudahan, kepraktisan dan optimalisasi hasil serta cara penilaiannya.
3. Selanjutnya perlu dipilih alternatif tindakan dan prosedur yang dinilai paling menjanjikan hasil optimal dan dapat dilakukan oleh dosen dalam kondisi dan situasi dunia perguruan tinggi.
4. Perlu ditentukan cara untuk menguji hipotesis tindakan guna membuktikan bahwa dengan tindakan yang dilakukan telah terjadi perubahan, perbaikan, atau peningkatan yang meyakinkan.
F. Analisis Kelayakan Solusi untuk Pemecahan Masalah
Sebetulnya tahap ini dilakukan bersamaan dengan tahap sebelumnya yaitu pengembangan intervensi sebagai pilihan solusi untuk memecahkan masalah. Tahap ini adalah menganalisis apakah intervensi yang dikembangkan layak ataukah tidak layak, setelah memperhatikan berbagai macam pertimbangan secara matang. Hal-hal pokok yang perlu dikaji kelayakannya adalah:
1. Kemampuan dosen/guru yang melakukan tindakan kelas.
Dalam hal ini perlu dikaji betul-betul apakah dosen dapat melakukan tindakan kelas tersebut. Dosen akan mengalami kesulitan besar atau mengalami kerepotan ataukan tidak. Jika dosen tidak mampu untuk melakukannya, sebaiknya tidak dituntut untuk harus melakukan tindakan itu. Hal penting lainnya adalah adanya kesediaan dosen secara sukarela, bukan karena keterpaksaan atau takut untuk menyatakan tidak bersedia.
2. Kemampuan mahasiswa/siswa.
Dari segi fisik, psikologis, sosial-budaya dan etik, kemampuan mahasiswa harus diperhitungkan. Kesalahan pengambilan keputusan dalam hal ini justru akan memberikan kerugian kepada mahasiswa.
3. Fasilitas dan sarana pendukung.
Dalam hal ini, tindakan kelas harus benar-benar didukung oleh fasilitas dan sarana di kelas, sehingga tindakan yang direncanakan benar-benar ideal untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
4. Iklim belajar di kelas.
Diharapkan iklim belajar di kelas mendukung terwujudnya tindakan kelas sesuai dengan desain yang dipilih.
5. Iklim kerja di institusi pendidikan.
Tindakan kelas akan dapat berjalan baik jika mendapatkan dukungan dari pimpinan institusi, misalnya ketua program studi, maupun dukungan dari sejawat dosen.
Peneliti bersama-sama pimpinan institusi pendidikan dan sejawat dosen perlu membahas secara mendalam kelayakan solusi pemecahan masalah. Konsekuensi atas dilakukannya tindakan kelas harus diantisipasi. Perlu juga diperhitungkan timbulnya masalah baru dengan adanya tindakan kelas.
Bagian 4
TAHAP PELAKSANAAN DAN OBSERVASI
DALAM PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Telah disinggung di bagian depan bahwa menurut model PTK, tahap pelaksanaan/tindakan (acting) merupakan langkah kedua, sedangkan observasi (observing) merupakan langkah ke tiga pada setiap siklus (Gambar 3, 4 dan 5). Karena idealnya tahap pelaksanaan dan observasi dilakukan secara bersamaan oleh guru atau dosen yang berbeda, maka kedua tahap tersebut dijelaskan secara bersamaan pula dalam bab ini. Setelah perencanaan disusun dengan matang akhirnya dosen siap untuk melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana atau skenario yang telah disusun.
A. Pelaksanaan Tindakan Kelas
Pelaksanaan tindakan menurut skenario dilakukan di dalam situasi sosial, artinya terdapat interaksi-komunikasi antar dosen-mahasiswa atau antar mahasiswa di dalam suasana pembelajaran. Sebagai bagian pokok dalam PTK, tahap pelaksanaan tindakan kelas membutuhkan keseriusan dan kesungguhan, meskipun bukan merupakan situasi eksperimental yang sangat mencekam. Situasi kelas harus diupayakan senormal-normalnya seperti keadaan sehari-hari.
Pada saat melakukan tindakan kelas, guru atau dosen sebagai pendidik harus mengambil peran dalam memberdayakan peserta didik sehingga mereka menjadi agent of change (agen perubahan) bagi dirinya sendiri dan bagi kelas. Kelas lebih diupayakan menjadi learning community (komunitas belajar) daripada sebagai laboratorium tindakan. Hindari penggunaan cara-cara empiris misalnya membagi kelas menjadi kelompok kontrol dan kelompok treatment (perlakuan).
Guru yang bertugas sebagai pelaksana tindakan harus selalu mengacu kepada program yang telah dipersiapkan dan disepakati secara matang pada tahap perencanaan bersama teman sejawat. Hal penting yang harus diperhatikan bahwa situasi kelas atau faktor lain mungkin saja akan menyebabkan terjadinya penyimpangan kegiatan di kelas. Faktor-faktor seperti ini sedapat-dapatnya harus dihindari, sehingga perubahan yang terjadi benar-benar diyakini merupakan akibat dari tindakan kelas yang sengaja dilakukan untuk upaya perbaikan, bukan akibat faktor-faktor lain.
Kualitas tindakan kelas yang dilakukan sangat tergantung kepada kualitas perencanaan yang telah disusun, maka perlu dimatangkan terlebih dulu tahap planning barulah melakukan acting. Jika akhirnya terjadi perubahan/perbaikan yang harus muncul pada tahap tindakan ini, atau mungkin guru atau dosen pelaksana tindakan memiliki beberapa kelemahan dalam melakukan intervensi, maka hal ini harus dapat disikapi secara positif oleh pelaksana tersebut. Penilaian dari orang lain tentang kelemahan-kelemahan kita justru akan menjadi pemicu perbaikan yang sangat berharga untuk meningkatkan kualitas pembelajaran selanjutnya.
B. Observasi Terhadap Tindakan Kelas
Observasi terhadap tindakan yang dilaksanakan di kelas dapat dilakukan oleh guru atau dosen pelaksana tindakan, dan dapat juga dilakukan oleh teman sejawat yang khusus bertindak sebagai observer (pengamat). Pilihan kedua inilah yang lebih ideal untuk dilakukan. Kita tentu menyadari bahwa lebih sulit untuk bersikap obyektif terhadap diri sendiri. Tentu berat untuk menunjukkan kelemahan diri sendiri kepada orang lain. Inilah yang menjadi alasan utama bahwa sebaiknya diupayakan agar pelaksana tindakan kelas dan pengamat tindakan kelas adalah orang yang berbeda. Kedua pihak ini dapat saja saling bekerjasama dengan menyusun usulan PTK masing-masing secara bersama-sama dan selanjutnya mereka saling bertukar peran atau bergantian menjadi pelaksana tindakan kelas dan observer. Dengan cara ini diharapkan nilai obyektifitas akan menjadi semakin tinggi, dan kedua belah pihak akan mendapatkan dampak mutualisme dari kerjasama ini.
Semua perubahan perilaku maupun situasi kelas harus diamati dengan cermat oleh observer. Jika diduga terjadi perubahan yang bersifat negatif atau merugikan, maka perlu dilakukan perubahan sebagai tindakan pencegahan dan mengembalikannya ke arah yang benar sesuai dengan skenario yang telah dirancang. Sebagai contoh, jika mahasiswa diberi tugas kelompok untuk dikerjakan di rumah, namun akhirnya sebagian besar dari mereka hanya melakukan copy and paste (mencontek karya orang lain), maka disimpulkan bahwa telah terjadi perubahan ke arah negatif. Jika hal demikian terjadi, maka dosen harus melakukan perubahan strategi agar perilaku yang tidak baik tersebut dapat dihindari.
Apabila dilihat secara sistematis, ada empat hal yang harus mendapat perhatian dari peneliti dalam PTK yaitu pengumpulan data, sumber data, critical friend, dan analisis data.
1. Pengumpulan Data
PTK menggunakan prinsip-prinsip pengumpulan data yang tidak jauh berbeda dengan penelitian konvensional, sehingga prinsip-prinsip pengumpulan data pada penelitian konvensional dapat diterapkan pada PTK. Pada umumnya dalam PTK, data yang terkumpul baik data kualitatif maupun data kuantitatif digunakan untuk menggambarkan perubahan yang terjadi antara lain: perubahan kinerja guru atau dosen, hasil prestasi mahasiswa, perubahan kinerja mahasiswa dan perubahan suasana kelas.
Karena tahap ketiga dari PTK adalah observing, maka jelas bahwa observasi merupakan teknik pengumpulan data yang utama pada PTK. Dalam PTK, observasi merupakan kegiatan pengamatan untuk memotret seberapa jauh efek dari tindakan telah mencapai sasaran. Efek dari suatu intervensi harus dimonitor secara reflektif (maka dalam siklus PTK ada tahap refleksi).
Data yang perlu dikumpulkan dalam PTK adalah data kuantitatif tentang kemajuan peserta didik (misalnya nilai) dan data kualitatif (misalnya minat atau suasana kelas). Pada tahap ini, peneliti harus menguraikan jenis data yang dikumpulkan, cara pengumpulan data serta instrumen atau alat pengumpul data (kuesioner, pedoman wawancara, lembar observasi dan sebagainya). Seperti halnya dalam penelitian formal, alat-alat pengumpul data harus valid dan reliabel. Cara-cara untuk memperoleh instrumen pengumpulan data yang valid dan reliabel sama dengan yang biasa dilakukan pada penelitian konvensional. Dalam hal ini, peneliti perlu melihat kembali konsep validitas dan reliabilitas. Banyak sekali yang harus dipahami mengenai konsep ini di antaranya validitas isi, validitas konstruksi, dan sebagainya, termasuk juga uji coba instrumen dan perhitungan-perhitungan statistikal untuk menentukan validitas dan reliabilitas instrumen tersebut. Meskipun demikian, dalam PTK dikenal juga istilah practical validity dan practical reliability, maksudnya selama anggota kelompok penelitian tindakan memutuskan bahwa instrumen pengumpulan data dinyatakan valid dan reliabel, maka instrumen tersebut dapat digunakan.
Lather dalam Conolle (1994) dalam Arikunto, Suhardjono & Supardi (2008) mengemukakan empat strategi untuk meningkatkan validitas yaitu:
a. Face validity (validitas muka)
Dalam hal ini, setiap anggota kelompok peneliti dalam PTK saling mengecek/menilai/memutuskan validitas suatu instrumen dan data dalam proses kolaborasi.
b. Triangulation (triangulasi)
Dalam hal ini peneliti menggunakan berbagai macam sumber data untuk meningkatkan kualitas penilaian. Triangulasi merupakan proses memastikan sesuatu dari berbagai sudut pandang. Istilah ini selanjutnya berkembang dan memiliki fungsi utama sebagai cara untuk meningkatkan ketajaman hasil pengamatan melalui berbagai cara dalam pengumpulan data. Ada beberapa macam triangulasi yaitu:
1) Theoritical triangulation (triangulasi teori), menggunakan berbagai teori dalam upaya menelaah sesuatu.
2) Data triangulation (triangulasi data), mengambil data dari berbagai suasana, waktu, tempat, dan jenis.
3) Source triangulation (triangulasi sumber), mengambil data dari berbagai sumber.
4) Method triangulation (triangulasi metode), mengambil data dari berbagai metode pengumpulan data.
5) Instrumental triangulation (triangulasi instrumen), mengambil data dengan berbagai jenis instrumen.
6) Analytical triangulation (triangulasi analitik), menggunakan berbagai jenis metode atau cara analisis data.
c. Critical reflection (refleksi kritis)
Setiap tahap siklus dalam penelitian tindakan dirancang untuk meningkatkan kualitas pemahaman. Apabila pada setiap tahap siklus mutu refleksi dipertahankan, maka mutu pengambilan keputusan akan dapat dijamin.
d. Catalytic validity (validitas pengetahuan)
Validitas pengetahuan bergantung kepada kemampuan peneliti sendiri dalam mendorong pada adanya perubahan.
2. Sumber Data
Berbagai macam sumber data dapat digunakan untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam PTK. Sumber-sumber pengumpulan data yang dapat dimanfaatkan dalam PTK antara lain: siswa atau mahasiswa, buku harian, dokumen hasil belajar, learning logs, jurnal, foto, laporan pengamatan, hasil angket, tes hasil belajar dan sebagainya.
Jika sumber data tepat dan akurat, maka data yang dikumpulkan adalah data yang baik. Berikut ini adalah contoh penentuan sumber data yang tepat untuk pengumpulan data mengenai masalah tertentu. Seorang dosen ingin mengetahui minat mahasiswa kebidanan setelah lulus. Untuk mengetahui hal ini, sumber data yang digunakan adalah dokumen pada bagian administrasi akademik dan angket untuk orangtua mahasiswa. Hal ini menunjukkan gambaran bahwa peneliti kurang tepat dalam memilih sumber data. Dalam kasus ni, lebih tepat jika data diperoleh dari mahasiswa secara langsung, misalnya melalui wawancara atau dengan menyebarkan kuesioner kepada mahasiswa untuk diisi secara langsung.
3. Critical Friend
Critical friend adalah pihak ketiga yang dapat mendorong peningkatan kualitas hasil penelitian tindakan. Rekan sejawat yang menjadi pasangan kita (kolaborator) dalam PTK adalah seorang critical friend yang memiliki peran penting dalam menentukan kualitas PTK. Mereka adalah kritikus yang dapat memberikan saran-saran berharga terhadap PTK yang kita laksanakan.
Ketepatan pemilihan critical friend berpengaruh terhadap daya dukung mereka terhadap PTK yang dilaksanakan. Peneliti harus berhati-hati dalam memilih critical friend. Pemilihan yang salah justru akan menyulitkan dan menyesatkan. Critical friend yang tepat adalah orang-orang yang siap membantu dan menguasai bidang mereka masing-masing. Unsur-unsur critical friend dapat berasal dari guru, dosen, konsultan pendidikan, teman sekolah, tenaga ahli dan sebagainya. Persyaratan critical friend yang dapat digunakan sebagai pedoman pemilihan oleh peneliti antara lain:
a. Critical friend adalah orang-orang yang dipilih berdasarkan kebutuhan kelompok PTK
b. Critical friend adalah teman positif yang siap membantu kegiatan PTK
c. Critical friend adalah teman yang siap berbagi pengalaman atau pengetahuan
d. Critical friend adalah orang-orang yang hadir karena diundang oleh kelompok PTK, sehingga selama dibutuhkan harus siap membantu.
4. Analisis Data
Data yang telah terkumpul tidak akan bermakna sebelum dianalisis. Agar penelitian tindakan kelas memiliki manfaat dengan nilai ilmiah yang tinggi, peneliti harus memahami teknik analisis data yang tepat. Peneliti tidak perlu khawatir mengenai adanya tuntutan yang terlalu tinggi (canggih) dalam teknik analisis data, seperti analisis faktor, analisis diskriminan dan sebagainya, karena tujuan dari PTK bukanlah untuk membuat generalisasi atau pengujian teori. Tujuan dari PTK adalah untuk memperoleh bukti kepastian apakah telah terjadi perbaikan, perubahan atau peningkatan sesuai dengan harapan.
Dalam PTK, terdapat dua jenis data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti, yaitu:
a. Data kuantitatif
Data kuantitatif mungkin berupa nilai hasil belajar mahasiswa yang dapat dianalisis secara deskriptif, misalnya nilai rerata, modus, median, distribusi frekuensi dan persentase, varians, simpangan baku dan sebagainya. Selanjutnya dapat dilakukan penyajian secara visual yang menarik misalnya menggunakan tabel, grafik, chart dan teknik-teknik penyajian lainnya. Dengan penyajian ini, akan dapat tergambar bahwa tindakan kelas yang telah dilakukan berhasil menimbulkan perbaikan, perubahan, atau peningkatan ke arah yang lebih baik. Hal ini tampak jika kondisi sebelum tindakan dibandingkan dengan kondisi sesudah tindakan dilakukan. Perlu diingat bahwa peneliti tidak boleh membandingkan sebuah kondisi (misalnya nilai hasil belajar) antar mahasiswa yang diajar pada semester yang berbeda dan antar mahasiswa yang berbeda, karena jelas ini tidak komparabel. Jadi, yang dibandingkan adalah kondisi yang terjadi atau yang dialami oleh mahasiswa masing-masing, antara sebelum dan sesudah tindakan kelas.
b. Data kualitatif
Data kualitatif adalah data yang berupa informasi berbentuk kalimat yang memberi gambaran tentang ekspresi peserta didik tentang tingkat pemahaman terhadap mata pelajaran atau mata kuliah tertentu (kognitif), sikap mahasiswa terhadap metode belajar yang baru (afektif), aktifitas mahasiswa selama kegiatan pembelajaran, perhatian, antusiasme dalam belajar, kepercayaan diri, motivasi belajar dan sebagainya. Berbagai macam contoh data di atas perlu dianalisis secara kualitatif. Tahap-tahap analisis yang perlu dilakukan adalah menyeleksi, menyederhanakan, mengklasifikasikan, memfokuskan, mengorganisasi (mengkaitkan gejala) secara sistematis dan logis, serta membuat abstraksi atas kesimpulan makna hasil analisis.
Model analisis menurut Miles dan Hubberman (1984) dalam Soedarsono (2005) baik untuk digunakan. Model analisis ini terdiri atas tiga tahap pokok yaitu:
1) Reduksi data
Pada tahap ini peneliti memisahkan data yang relevan, penting dan bermakna dengan data yang tidak berguna, untuk menjelaskan tentang apa yang menjadi sasaran analisis. Langkah yang dilakukan pada tahap ini adalah menyederhanakan data dengan cara memfokuskan, mengklasifikasikan dan membuat abstraksi data kasar menjadi data yang bermakna untuk dianalisis.
2) Reduksi data
Pada tahap ini peneliti membuat sajian deskriptif tentang apa yang ditemukan dalam analisis. Sajian deskriptif dapat diwujudkan berupa uraian naratif, visual gambar, tabular dan lain-lain. Dengan sajian deskriptif, diharapkan pembaca menjadi lebih mudah dalam mengikuti hasil analisis data. Alur sajian diharapkan sistematik dan logik.
3) Kesimpulan
Pada tahap ini, peneliti membuat kesimpulan berdasarkan hasil sajian deskriptif. Kesimpulan merupakan intisari dari analisis data, yang memberikan pernyataan tentang dampak dari PTK yang dilakukan maupun efektifitas proses pembelajaran yang dilakukan.
Bagian 5
TAHAP REFLEKSI
DALAM PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Pada bagian depan telah dibahas bahwa menurut model PTK, tahap refleksi (reflecting) merupakan langkah keempat (terakhir) pada setiap siklus (Gambar 3, 4 dan 5). Tahap ini dimulai oleh peneliti setelah tindakan kelas dilaksanakan dan telah diperoleh berbagai data yang bermakna pada tahap observasi. Dengan refleksi, peneliti dapat melakukan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan dalam PTK, karena pada dasarnya refleksi adalah kegiatan mengulas secara kritis (reflektif) tentang perubahan yang terjadi, yaitu perubahan pada peserta didik, suasana kelas, dan juga perubahan pada guru atau dosen.
Pada tahap ini, guru atau dosen menjawab pertanyaan why (mengapa), how (bagaimana), to what extent (seberapa jauh) intervensi atau tindakan kelas telah menghasilkan perubahan secara signifikan. Kolaborasi dengan rekan sejawat dan juga para ahli akan berperan penting dalam memutuskan “judging the value” (seberapa jauh tindakan telah membawa perubahan: apa/di mana perubahan terjadi, mengapa demikian, apa kelebihan/kekurangan yang ada serta bagaimana langkah-langkah penyempurnaan yang diperlukan.
Berdasarkan hasil refleksi tersebut, peneliti berupaya untuk mengatasi kekurangan atau kelemahan yang terjadi akibat tindakan yang telah dilakukan. Jika akhirnya ditemukan cara atau strategi baru yang lebih baik, maka diperlukan perencanaan baru (revisi perencanaan) untuk siklus berikutnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa hasil refleksi merupakan acuan atau dasar untuk penentuan apakah siklus berikutnya diperlukan ataukah tidak. Jika memang diperlukan siklus kedua, ketiga dan seterusnya, maka tahapan-tahapan dari setiap siklus ini harus direncanakan dengan matang dengan memperhatikan hasil setiap tahap refleksi ini.
Jika penelitian sudah dianggap selesai, artinya sudah tidak diperlukan siklus lanjutan lagi, maka perlu segera disusun laporan penelitian. Format (bentuk) laporan PTK bervariasi tergantung kepada institusi penyelenggara, penanggungjawab atau penyandang dana dari kegiatan PTK yang dilaksanakan.Berikut ini merupakan salah satu contoh format laporan PTK yang disampaikan oleh Arikunto, Suhardjono & Supardi (2008):
A. Bagian pembukaan, mencakup:
- Halaman judul
- Halaman pengesahan
- Abstrak (jika diperlukan)
- Kata pengantar
- Daftar isi
- Daftar lampiran
- Daftar tabel (jika ada)
B. Bagian isi, mencakup:
Bab I Pendahuluan
1. Latar belakang masalah
2. Rumusan masalah
3. Tujuan penelitian
4. Manfaat penelitian
Bab II Kajian teori dan pustaka
- Ada teori-teori yang terkaitAda usaha peneliti untuk memberikan argumen teoritis
- Action tertentu yang dimungkinkan dapat meningkatkan mutu KBM
- Hipotesis tindakan (jika diperlukan)
Bab III Metodologi penelitian
- Memuat subyek penelitian
- Memuat setting penelitian (tempat penelitian)
- Memuat Desain (rancangan penelitian)
- Memuat jenis instrumen dan cara penggunaannya
- Pelaksanaan tindakan
- Cara pengamatan (monitoring)
- Analisis data dan refleksi
Bab IV Hasil penelitian dan pembahasan
1. Deskripsi setting penelitian
2. Hasil penelitian
3. Pembahasan
Bab V Simpulan dan saran
1. Simpulan
2. Saran
a. Saran untuk penelitian lanjutan
b. Saran untuk penerapan hasil penelitian
C. Bagian Penunjang, mencakup:
- Daftar pustaka
- Lampiran-lampiran yang perlu
- Lampiran instrumen penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi, Suhardjono, Supardi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Arsip Nasional Republik Indonesia. 2008. Seratus Tahun Kebangkitan Nasional: Lahirnya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908 (Episode 1). http://www.anri.go.id/web/index.php?Bulan =5&tahun=2008&m=bulan_dalam_arsip&b=2&PHPSESSID=6191dad64f6de69d67551361e6d36c56, diakses 03 November 2008.
Burch Chris (Editor & Publisher). 2004. Classroom Action Research, Madison Metropolitan School District. http://www.madison.k12.wi.us\sod\car\carhomepage.html, diakses 20 September 2008.
Daniel. 2008. Refleksi Perjuangan Seorang Dokter. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=754, diakses 03 November 2008.
Ditjen Dikti Depdiknas RI. 2004. Pedoman Penyusunan Usulan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) Tahun Anggaran 2005. http://www.dikti.go.id/Archive2007/ PANDUAN_USULAN_DAN_LAPORAN_PTK.pdf, diakses 20 September 2008.
Donner Melanie (Editor & Publisher). 2001. Classroom Action Research, Guidelines for Developing A Question. http://www.madison.k12.wi.us\sod\car\cardevelopquestion.html, diakses 20 September 2008.
Donner Melanie (Editor & Publisher). 2001. Classroom Action Research, What Are Some Effects of Teacher Research Projects?. http://www.madison.k12.wi.us\sod\car\ careffects. html, diakses 20 September 2008.
Gabel Dorothy. 1995. An Introduction to Action Research. http://physicsed.buffalostate.edu/danowner/actionrsch.html , diakses 12 November 2008.
Hughes I & Seymour-Rolls K. 2000. Participatory Action Research: Getting the Job Done. Action Research E-Reports, 4. http://www.fhs.usyd.edu.au/arow/arer/004. htm, diakses 03 November 2008.
Mettetal Gwynn. 2006. Classroom Action Research Overview. html\mypage.iusb.edu\_gmetteta\Classroom_Action_Research.html, diakses 20 September 2008.
Muninjaya AA Gde. 2003. Langkah-Langkah Praktis Penyusunan Proposal dan Publikasi Ilmiah. Jakarta: EGC.
Painter D & Rigsby L. 2007. Teacher Research. George Mason University: Graduate School of Education http://gse.gmu.edu\research\tr\index.html, diakses 20 September 2008.
Riel M. 2007. Understanding Action Research. Pepperdine University: Center for Collaborative Action Research. http://cadres.pepperdine.edu/ccar/define.html, diakses 12 November 2008.
Rust Frances & Clark Christopher. How to Do Action Research in Your Classroom. http://www. teachernetwork.org/ tnli/Action_Research_Booklet.pdf, diakses 20 September 2008.
Rabu, 17 Februari 2010
krisis wi
Jakarta, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Asmawi Rewansyah mengatakan bahwa saat ini Indonesia mengalami krisis widyaiswara karena banyak yang berusia tua dan kemampuannya kurang memenuhi syarat.
Karena itu, LAN berencana meningkatkan kemampuan para widyaiswara serta berupaya menarik minat pegawai terbaik agar mau menjadi widyaiswara, antara lain, dengan menaikkan tunjangannya hingga 100 persen, kata Asmawi di sela penutupan Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan Tingkat II LAN, di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan, saat ini widyaiswara di LAN sebanyak 30 orang, yang sebagian besar usianya sudah tua. Sementara itu, widyaiswara di badan pendidikan dan latihan, provinsi maupun departemen-departemen, juga banyak yang tidak memenuhi syarat.
Oleh sebab itu, katanya, kemampuan mereka perlu ditingkatkan lagi agar lulusan yang dihasilkan diklat kepemimpinan juga lebih baik lagi. Selain itu, metode pengajaran dan kurikulum di diklat-diklat juga perlu dibenahi, antara lain jangan terlalu banyak teori.
"Dampaknya kepemimpinan juga kurang (jika kemampuan widyaiswara dan metode tidak bagus)," katanya.
Ia mengatakan, jika lulusan yang dihasilkan oleh diklat-diklat di provinsi dan departemen-departemen kurang baik dan kurang memenuhi syarat, maka saat mengikuti pendidikan lanjutan di LAN juga akan semakin berat. "Banyak materi yang harus diulang (saat mengikuti diklat lanjutan di LAN)," katanya.
Mengenai rencana kenaikan tunjangan bagi para widyaiswara, Asmawi mengatakan bahwa Komisi II DPR sudah menyetejuinya. Namun kenaikan tersebut tidak otomatis, karena kenaikan tunjangan diberikan kepada mereka yang memenuhi standar yang ditetapkan LAN.
Saat ini tunjsngan widyaiswara kurang menarik dibanding pejabat struktural. Ia mengharapkan, dengan adanya kenaikan tunjangan tersebut maka banyak PNS yang ingin menjadi widyaiswara.
Kepada para lulusan terbaik pendidikan dan latihan kepemimpinan yang dilakukan LAN, Asmawi juga menawarkan mereka agar mau menjadi widyaiswara.
"Jika mereka tidak diterima di instansinya masing-masing maka kami siap menerima menjadi widyaiswara," katanya yang mengingatkan bahwa usia pensiun widyaiswara juga lebih panjang yakni mencapai 65 tahun.
Widyaiswara adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwenang dengan tugas, tanggung jawab, wewenang untuk mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS pada lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) pemerintah. (ant)
Karena itu, LAN berencana meningkatkan kemampuan para widyaiswara serta berupaya menarik minat pegawai terbaik agar mau menjadi widyaiswara, antara lain, dengan menaikkan tunjangannya hingga 100 persen, kata Asmawi di sela penutupan Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan Tingkat II LAN, di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan, saat ini widyaiswara di LAN sebanyak 30 orang, yang sebagian besar usianya sudah tua. Sementara itu, widyaiswara di badan pendidikan dan latihan, provinsi maupun departemen-departemen, juga banyak yang tidak memenuhi syarat.
Oleh sebab itu, katanya, kemampuan mereka perlu ditingkatkan lagi agar lulusan yang dihasilkan diklat kepemimpinan juga lebih baik lagi. Selain itu, metode pengajaran dan kurikulum di diklat-diklat juga perlu dibenahi, antara lain jangan terlalu banyak teori.
"Dampaknya kepemimpinan juga kurang (jika kemampuan widyaiswara dan metode tidak bagus)," katanya.
Ia mengatakan, jika lulusan yang dihasilkan oleh diklat-diklat di provinsi dan departemen-departemen kurang baik dan kurang memenuhi syarat, maka saat mengikuti pendidikan lanjutan di LAN juga akan semakin berat. "Banyak materi yang harus diulang (saat mengikuti diklat lanjutan di LAN)," katanya.
Mengenai rencana kenaikan tunjangan bagi para widyaiswara, Asmawi mengatakan bahwa Komisi II DPR sudah menyetejuinya. Namun kenaikan tersebut tidak otomatis, karena kenaikan tunjangan diberikan kepada mereka yang memenuhi standar yang ditetapkan LAN.
Saat ini tunjsngan widyaiswara kurang menarik dibanding pejabat struktural. Ia mengharapkan, dengan adanya kenaikan tunjangan tersebut maka banyak PNS yang ingin menjadi widyaiswara.
Kepada para lulusan terbaik pendidikan dan latihan kepemimpinan yang dilakukan LAN, Asmawi juga menawarkan mereka agar mau menjadi widyaiswara.
"Jika mereka tidak diterima di instansinya masing-masing maka kami siap menerima menjadi widyaiswara," katanya yang mengingatkan bahwa usia pensiun widyaiswara juga lebih panjang yakni mencapai 65 tahun.
Widyaiswara adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwenang dengan tugas, tanggung jawab, wewenang untuk mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS pada lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) pemerintah. (ant)
Minggu, 14 Februari 2010
Workshop IWI Bali Perdana
Pada tanggal 9 Februari 2010, dilaksnakan workshop pembentukan IWI Bali,
bertempat di Bandiklat Provinsi Bali, Jl. Hayam Wuruk Denpasar
Dihadiri kurang lebih 60 peserta yang datang dari instansi terkait antara lain:
Bandiklat Provinsi Bali, BDK, BKKBN, Dinas Koperasi, Dinas Kesehatan dan beberapa UPT Daerah
Dibuka oleh Kepala Bandiklat Provinsi Bali : TIA Kusuma Wardani SH, MM, dengan pengarahan akan harapan kiprah IWI Bali ke depan
bertempat di Bandiklat Provinsi Bali, Jl. Hayam Wuruk Denpasar
Dihadiri kurang lebih 60 peserta yang datang dari instansi terkait antara lain:
Bandiklat Provinsi Bali, BDK, BKKBN, Dinas Koperasi, Dinas Kesehatan dan beberapa UPT Daerah
Dibuka oleh Kepala Bandiklat Provinsi Bali : TIA Kusuma Wardani SH, MM, dengan pengarahan akan harapan kiprah IWI Bali ke depan
Langganan:
Postingan (Atom)